Dangdut merupakan salah satu dari
genre seni
musik yang berkembang di
Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari
musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik
India (terutama dari penggunaan
tabla) dan
Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan
gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan
house music.
Asal istilah
Penyebutan nama "dangdut" merupakan
onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut
gendang saja) musik India.
Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah
Tempo edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu
Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India.Sebutan ini selanjutnya diringkas menjadi "dangdut" saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk menyebut bentuk lagu Melayu yang terpengaruh oleh lagu India.
Interaksi dengan musik lain
Dangdut sangat elastis dalam menghadapi dan memengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut. Hal yang sama terjadi pada musik
tarling dari
Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut.
Musik rock, pop, disko,
house bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Aliran campuran antara musik dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan
Rockdut. Demikian pula yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti
jaipongan,
degung,
tarling,
keroncong,
langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik
campur sari yang dinamakan
congdut, dengan tokohnya
Didi Kempot), atau
zapin.
Mudahnya dangdut menerima unsur 'asing' menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan, seperti yang banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari film ala
Bollywood dan lagu-lagu
latin.
Kopi Dangdut, misalnya, adalah "bajakan" lagu yang populer dari
Venezuela.
Dangdut dalam budaya kontemporer Indonesia
Rhoma Irama menjadikan dangdut sebagai alat berdakwahnya, yang terlihat dari lirik-lirik lagu ciptaannya serta dari pernyataan yang dikeluarkannya sendiri. Hal ini menjadi salah satu pemicu polemik di Indonesia pada tahun 2003, akibat protesnya terhadap gaya panggung para penyanyi dangdut, antara lain
Inul Daratista, yang
goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta "merusak moral".
Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan
Sekaten di
Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu "terbuka" dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan.
Dangdut memang disepakati banyak kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari napas ini.
Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga menyeruak ketika
Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris
Golkar, menyanyi lagu dangdut.
Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan
diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota. sumber wikipedia